Jumat, 06 November 2020

Wejangan Sunan Kalijaga Dalam Pertunjukan Wayang


Mengenai riwayat pertunjukan wayang. Wayang merupakan salah satu warisan bangsa Indonesia yang sudah berkembang selama berabad-abad. Sejarah menacatat bahwa pertunjukan wayang mulai dikenal dan dipergelarkan sejak zaman Balitung sekitar tahun 907 M. Brandes menyatakan bahwa wayang sudah ada sejak zaman Prapanca sekitar tahun 778 M. Sedangkan Hiding mengatakan bahwa wayang sudah dipergelarkan sejak zaman Megalitik sekitar 1500 tahun Sebelum Masehi.

Melihat usianya yang sudah cukup lama ini, maka wajar keberadaan seni perwayangan telah mengalami penyempurnaan, sehingga membuahkan sajian seni adiluhung yang betul betul mapan dan mempunyai pasar yang sangat mengakar. Meskipun kerangka dasar cerita wayang bersumber dari epos India (Mahabarata dan Ramayana), namun dalam realitas pementasannya oleh Sunan Kalijaga, wayang disesuaikan dengan ajaran Islam. Cerita-cerita wayang sekarang bila dibandingkan dengan sumber aslinya akan tampak sekali mengalami banyak perubahan. Misalnya, dalam cerita Mahabarata India asli, Dewi Drupadi menjadi istri lima orang Pandawa sekaligus (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa). Tetapi dalam pementasan wayang Sunan Kalijaga, Dewi Drupadi hanya menjadi istri Prabu Yudhistira. System poliandri yang dikenal dalam cerita Mahabarata versi India itu dalam budaya dan tradisi pewayangan Jawa sama sekali tidak diperkenankan.

Menurut R.M. Sajid, pada zaman Kerajaan Majapahit lebih dikenal dengan pementasan wayang beber, yaitu wayang yang bentuknya dibentangkan (dibeber). Sejak zaman Kerajaan Islam Demak(zaman para wali), wayang beber ini mengalami perubahan besar-besaran, seolah-olah telah berganti wujud baru. Perubahan ini bukan saja dalam bentuk pelaku-pelaku seadegan dilukiskan bersama-sama dalam satu lembaran, maka sejak zaman para wali dilukis terperinci, dengan masing-masing tokohnya terpisah dari yang lainnya. Bentuk lukisannya juga tidak menghadap tetapi berbentuk miring dan dilukis dari samping. Bentuk badan serta perimbangan anggota-anggota badannya, maka tidak lagi menyerupai bentuk manusia normal, tetapi justru lebih jauh dari bentuk asli manusia (Effendi Zarkasi, 1977:27).

Pembuatan wayang dari kulit kerbau, dimulai oleh Sunan Kalijaga pada zaman RadenPatah, yang bertakhta di Demak ini. Sebelumnya lukisan wayang yang menyerupai bentuk manusia sebagaimana yang terdapat pada relief Candi Panataran di daerah Blitar. Lukisan yang mirip manusia oleh sebagian ulama dinilai bertentangan dengan Syara’. Para wali, terutama Sunan Kalijaga kemudian menyiasatinya dengan mengubah dari lukisan yang menghadap (Jawa =  methok) menjadi miring. Dahulu sebelum memakai pahatan pada bagian mata, telinga, perhiasan, dan lain-lainnya, wayang hanya digambar saja. Dengan mengubah bentuk dan lukisan wayang berbeda dengan bentuk manusia sesungguhnya, maka tidak ada alasan lagi untuk menuduh bahwa wujud wayang melanggar hokum fikih Islam. Selain itu, atas saran para wali, Sunan Kalijaga juga membuat tokoh Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong sebagai tokoh punakawan lucu. Kadang kala, ia menggunakan tokoh Bancak dan Doyok (Effendi Zarkasi, 1977: 28-29).

Semar dari kata Arab simaaratau ismarun artinya paku. Paku itu alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak, kuat, tidak goyah. Semar juga memiliki nama lain, yakni ismaya, yang berasal dari kata asma-ku atau symbol kemantapan dan keteguhan. Karena itu ibadah harus didasari keyakinan kuat agar ajarannya tertancap sampai mengakar. Tokoh punakawan lain, yakni anak Semar, Nala Gareng dari kata naala qorin yang artinya memperoleh banyak kawan. Hal ini seupa dengan tujuan dakwah, yaitu memperbanyak kawan, memperluas sahabat dan mengajak mereka menyembah Allah SWT.

Dalam bahasa religi hal tersebut sering disebut amarma’ruf. Di samping terus menyebarkan kebaikan, umat Islam juga harus mampu seperti tokoh Petruk dan Bagong. Petruk berasal dari kata fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek atau nahi munkar. Bagong berasal dari kata bagho yang berarti pertimbangan makna dan rasa, antara rasa baik dan buruk, benar salah. Harus berani melawan siapapun yang zalim (Endraswara, 2003: 105)

Selanjutnya R.M. Sajid mengatakan bahwa Sunan Giri melengkapi bentuk wayang dengan hiasan-hiasan seperti kelat bahu (hiasan pangkal lengan), gelang keroncong (gelang kaki), anting telinga, badong (hiasan pada pinggang), dan zamang (hiasan pada kepala). Sedang yang mengarang lakon wayang dan suluknya adalah Ratu Tunggal di Giri tatkala mewakili di Istana Demak tahun 1478 Caka. Dimulainya wayang pahat bergaris-garis gambir (garis-garis lembut pada rambut misalnya) itu pada tahun 1477 Caka atas perintah Raden Trenggana bergelar Jeng Sultan Syah Ngalam Akbar III di Demak. Kemudian pada zaman Jaka Tingkir, Sultan Hadiwijaya raja Pajang, wayang dipahat gayaman, tetapi tangan masih sambung dengan badan. Wayang dipahat dengan benar sejak zaman Panembahan Senapati ing Ngalaga Sayidin Panatagama Mataram tahun 1541 Caka (Effendy Zarkasi, 1977: 29-30).

Penambahan lakon wayang sebagai aktivitas kreatif dilakukan oleh para pujangga jawa selalu disesuaikan dangan ajaran Agam Islam. Karena mayoritas orang Jawa beragama Islam, maka sudah barang tentu warna dan nilai Islam sangatlah berpengaruh terhadap segala kreativitas dan inovasi lakon baru itu. Contoh dalam lakon Jimat Kalimasada adlah lambang dari dua kalimah syahadat. Cerita Jimat Kalimasada  tidak ada dalam epos asli Mahabarata. Cerita-cerita baru (lakon carangan) lainnya yang tidak terdapat dalam cerita induk Mahabarata dan Ramayana antara lain: Mustakaweni, Petruk Dadi Ratu, Mbangun Candi Sapta Harga, Semar Mbangun Kahyangan dan Dewaruci. Kalau diamati, ternyata lakon-lakon carangan tersebut sangat popular dan lebih sering ditampilkan dalam pergelaran wayang sekarang ini.

Sampai saat ini jenis-jenis wayang paling tidak telah berjumlah lebih dari 21 (duapuluh satu) buah, yakni 1) Wayang Beber, 2) Wayang Gedhog, 3) Wayang Kidang Kencana, 4) Wayang Purwa, 5) Wayang Golek, 6) Wayang Sunggingan, 7) Wayang Krucil atau Klithik, 8) Wayang Wong, 9) Wayang Keling Pekalongan, 10) Wayang Dakwah, 11) Wayang Betawi, 12) Wayang Bali, 13) Wayang Potehi, 14) Wayang Madya, 15) Wayang Tasripin, 16) Wayang Suluh, 17) Wayang Wahana, 18) Wayang dan Perjuangan, 19) Wayang Kancil, 20) Wayang Pancasila, 21) Wayang Wahyu.

Jenis wayang tersebut di atas, yang paling banyak penggemarnya adalah wayang purwa yang mengambil cerita dari epos besar Mahabarata dan  Ramayana (Koenjtaraningrat, 1984: 290). Kepopuleran wayang kulit purwa dapat dilihat dari kuantitas frekuensi pementasannya. Pada musim masyarakat banyak mempunyai hajat atau hari-hari penting, tidak jarang keluarga dan instansi baik negeri maupun swasta yang menanggap pergelaran wayang purwa semalam suntuk.

Pertunjukan wayang banyak mengandung unsur-unsur yang berfaedah bagi kehidupan masyarakat. Wayang dipandang sebagai suatu kesenian tradisional dengan multifungsi dan dimensi.

Sedikitnya ada enam manfaat yang dapat dipetik dari dunia pakeliran,

  1. Mengenal salah satu jenis seni dan budaya bangsa Indonesia, sebagai salah satu kesenian adiluhung warisan nenek moyang.

  2. Mengetahui keindahan seni rupa, tatah, ukir, dan sungging.

  3. Mengetahui dan memahami seni sastra serta merupakan hiburan sehat bagi jasmani dan rohani.

  4. Mengenal secara lebih dekat watak dan figur tokoh wayang yang merupakan lambang karakter serta sifat-sifat manusia untuk memahami jati dirinya.

  5. Pewayangan merupakan suatu ensiklopedia yang hidup, tentang perilaku kehidupan manusia yang banyak mengandung falsafah dan ajaran kerohanian seperti etika, estetika, kesetian, pengabdian dan cinta tanah air, serta mengandung ajaran sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup manusia).

  6. Intisari ceritanya mulia, dapat dijadikan untuk membimbig budi pekerti agar selalu berbuat kebajikan dan menjauhi perbuatan yang didorong oleh nafsu angkara murka.

Bagi bangsa Indonesia khususnya masyarakat Jawa, wayang merupakan kesenian klasik tradisional yang banyak memberikan peluang untuk menuju penyempurnaan diri. Wayang yang berbentuk boneka mengandung banyak pasemon (kiasan) yang oleh alam logika sangat sulit dijabarkan sehingga membuat pengamat perwayangan menjadikan polemik yang tiada habis-habisnya. Namun demikian, sebenarnya bagi orang jawa sendiri pengkajian kebenaran tidak semata-mata harus melalui indra batin. Rasio dan indra batin dalam Bahasa Jawa disebut cipta dan rasa. Seringkali rasio terdesak ke belakang sehingga penilaian indra batinlah yang kadang-kadang memegang peranan utama. Maka tidak mengherankan kalau filsafat orang jawa ada kalanya berhasil menjelajahi alam irasional, alam di luar akal atau dunia mistik.

Khusus bagi para wali dan juru dakwah lain, wayang berfungsi sebagai sarana untuk menyiarkan ajaran Agama Islam yang sangat efektif berdasarkan pengalaman sejarah, wayang pernah digunakan para wali untuk menyebarkan ajaran Islam agar dipeluk oleh orang Jawa mulai lapisan terbawah hingga kalangan elite priyayi.


*Sumber disadur dari buku Dakwah Sunan Kalijaga karangan Dr. Purwadi, M.Hum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar